Sebelum mengalami penjajahan, Brunei merupakan sebuah kerajaan yang
sangat besar. Wilayahnya mencakup bagian utara Kalimantan hingga
Filipina bagian selatan. Brunei tumbuh sebagai kerajaan yang sangat kuat
dan mengalami kejayaan pada abad keempat belas hingga abad keenam
belas. Sayangnya, puncak kejayaan tersebut tidak dapat berlangsung lama
karena adanya pengaruh kebudayaan dari bangsa Eropa. Pengaruh budaya
tersebut secara tidak langsung telah mengikis rasa kebangsaan di dalam
diri masyarakat Brunei saat itu, akibatnya banyak terjadi perpecahan di
tingkat regional.
Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para penjajah untuk menyerang
Brunei dan menjadikannya sebagai daerah koloni. Awalnya, Burnei memang
cukup tangguh dalam menghadapi para penjajah tersebut. Serangan Spanyol
ke kawasan tersebut berhasil dipatahkan oleh pasukan Brunei, namun
kondisi internal Brunei yang semakin carut marut membuatnya menjadi
rapuh. Banyaknya perselisihan antar para bangsawan, perebutan kekuasaan
hingga pembagian wilayah untuk para pangeran membuat kerajaan tersebut
mudah untuk dipecah belah.
Kondisi tersebut diperparah dengan hilangnya sebagian kekuasaan
Brunei yang diakibatkan oleh pengkhianatan Rajah Putih dari Sarawak.
Brunei menjadi semakin mengecil dan memisah menjadi dua bagian.
Kekuasaannya pun tak lagi berlangsung lama, Brunei akhirnya takluk
ditangan Inggris. Wilayah yang tadinya seluas Kalimantan Utara dan
Filipina Selatan, kini menjadi kecil mungil sebagaimana yang ada saat
ini.
Tulisan ini akan membahas tentang sejarah keberadaan Kesultanan
Brunei atau yang biasa dikenal dengan nama Brunei Darussalam. Untuk
memudahkan dalam pembahasan, tulisan ini akan membagi sejarah Brunei
kedalam tiga bagian; (1) Era Pra-Kesultanan (Sebelum Abad ke-14), (2)
Era Kesultanan Brunei (1370-1843), dan (3) Era Penjajahan Inggris
(1847-1984).
Era Pra-Kesultanan
Sejarah Brunei sebelum era kesultanan tidak banyak diketahui. Hal ini
terjadi mengingat minimnya informasi dan bukti-bukti sejarah yang
menceritakan terkait masalah kehidupan dan kondisi pemerintahan di
Brunei saat itu. Banyak ahli sejarah yang menyakini bahwa sebelum era
kesultanan yang ada saat ini, Brunei telah memiliki suatu sistem
pemerintahan tersendiri.
Kerajaan Vijayapura
Keyakinan ini didasari oleh berbagai sumber dari kerajaan China dan
Nusantara yang menyebutkan bahwa pada masa itu telah ada sebuah kerajaan
yang mengelola kawasan Brunei. Sumber dari kerajaan Sriwijaya
menyebutkan bahwa pada abad ke-7 di bagian barat laut Kalimantan
terdapat sebuah kerajaan yang bernama Vijayapura. Kerajaan Vijayapura
ini berhasil ditaklukkan dibawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya yang
berlokasi di pulau Sumatera. Namun bukti arkeologi menunjukkan bahwa
kerajaan tersebut berada dibawah pengaruh kerajaan China, ini
diperlihatkan dari penemuan koin logam China yang terbit pada abad
ketujuh di sekitar Brunei.
Kerajaan Po-ni
Sayangnya referensi terkait dengan kehidupan kerajaan ini masih
sangat terbatas sehingga tidak banyak diketahui bagaimana kinerjanya.
Jika ditinjau dari aspek nama, kerajaan tersebut bercorak Hindu dan
mirip dengan sebuah daerah yang ada di India. Namun seberapa kuat
pengaruhnya saat itu belum diketahui.
Sumber kuno lain menyebutkan bahwa pada abad ke-10, kawasan tersebut
dikuasai oleh sebuah kerajaan yang bernama Po-ni. Kerajaan Po-ni ini
telah melakukan kontak dengan Dinasti Song yang ada di China dan
beberapa kali melakukan hubungan dagang dengan Dinasti Song. Teks
sejarah dari Dinasti Song dan bukti arkeologi menunjukkan bahwa kerajaan
Po-ni sangat dipengaruhi oleh peradaban Hindu seperti yang ditularkan
oleh kerajaan Hindu yang terletak di pulau Jawa dan Sumatera. Sistem
penulisan yang digunakan menganut naskah Hindu Jawa dan Sumatera, bukan
Hindu India. Ini menunjukkan bahwa kerajaan Po-ni tidak memiliki
hubungan yang erat dengan kerajaan India.
Selanjutnya, dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Prapanca
pada tahun 1365 menyebutkan bahwa kerajaan tersebut takluk dibawah
kerajaan Majapahit.[2]
Dalam versi Negarakertagama, kerajaan yang ditaklukkan oleh Majapahit
tersebut bernama Berune. Namun diperkirakan bahwa penaklukan yang
dilakukan oleh Majapahit tersebut tidak lebih dari hubungan simbolis.
Disebutkan bahwa setiap tahunnya, kerajaan Berune mengirimkan minuman
yang terbuat dari buah pinang sebagai upeti kepada kerajaan Majapahit.
Hubungan kerajaan Po-ni dengan kawasan lain juga semakin berkembang.
Pada tahun 1370-an, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Dinasti Ming
yang ada di China. Hubungan kedua kerajaan diperkirakan sangat akrab,
hal ini diperlihatkan dengan adanya kunjungan penguasa Po-ni,
Ma-na-jih-chia-na ke ibukota Nanjing pada tahun 1408 dan meninggal dunia
disana. Sejak saat itu kehidupan kerajaan Po-ni tidak banyak diketahui
karena pada tahun 1424, Kaisar Hongxi dari Dinasti Ming menghentikan
program maritimnya sehingga sejak saat itu tidak ada lagi catatan
terkait kerajaan Po-ni.
Era Kesultanan
Diceritakan bahwa menjelang kehancuran Dinasti Yuan, China mengalami
kekacauan yang sangat parah. Kondisi ini memaksa banyak orang China
melarikan diri. Orang-orang yang tinggal di sepanjang pesisir Fujian
juga turut melarikan diri dengan dipimpin oleh Ong Sum Ping. Mereka
melarikan diri ke arah timur Kalimantan dan masuk ke salah satu sungai
disana. Saat itu sempat terjadi kecelakaan yang membuat salah seorang
anggota kehilangan lengannya. Konon, orang-orang Melayu yang tinggal
disekitar sungai melihatnya dan akhirnya menamai sungai tersebut dengan
nama Kinabatangan karena menjadi lokasi hilangnya lengan salah seorang
anggota tersebut.
Ong Sum Ping dan para pelarian lainnya mulai mendirikan pemukiman dan
membangun di sekitar sungai Kinabatangan. Ternyata pembangunan yang
dilakukan oleh Ong Sum Ping memiliki dampak yang sangat besar bagi
kehidupan disana. Kawasan tersebut mengalami peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan. Kondisi ini membuat Ong Sum Ping diangkat sebagai
pemimpin di kawasan tersebut. Orang Melayu memberinya gelar sebagai Raja
sedangkan orang China memberinya gelar “Chung Ping” yang berarti
Jenderal.
Sultan Muhammad Shah
Kawasan tersebut awalnya dikuasai oleh Kesultanan Brunei, namun
karena adanya invasi dari Kesultanan Sulu, kawasan tersebut menjadi
tidak terurus. Kekuasaan Kesultanan Brunei pun hanya terbatas pada
bagian utara Kinabatangan, sementara kawasan lainnya tidak dapat
dikontrol karena adanya perebutan kekuasaan diantara sesama penduduk
melayu lokal. Keberhasilan Ong Sum Ping tersebut membuat Sultan Brunei,
Muhammad Shah yang saat itu baru naik tahta menjadi tertarik untuk
menyatukan kekuasaan dengan Ong Ping.
Penyatuan kekuasaan tersebut ditandai dengan pernikahan antara Putri
Sultan dengan Ong Sum Ping. Pernikahan tersebut membuat Ong Sum Ping
mendapat gelar Maharaja Lela. Selain itu, Muhammad Shah juga menikahkan
saudaranya, Sultan Ahmad dengan adik perempuan Ong Sum Ping yang
kemudian mendapat gelar Putri Kinabatangan. Kedua pernikahan ini
memberikan dampak yang luar biasa bagi perkembangan Kesultanan Brunei.
Dengan bantuan Ong Sum Ping dan militer China, Kesultanan Brunei
berhasil mengusir invasi dari Kesultanan Sulu dan terhindar dari
kehancuran total. Pengaruh Ong Sum Ping di Brunei ternyata sangat besar
da berdampak pada pertumbuhan China di Brunei. Hampir di setiap kota dan
desa di Brunei telah dibangun perkampungan China dan berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan disana. Salah satu kota peninggalan
China yang masih ada saat ini adalah keberadaan kota Kinabalu yang
menjadi sentra pemukiman China.
Sultan Abdul Majid Hassan dan Sultan Ahmad
Pada tahun 1402, Sultan Muhammad Shah meninggal dunia dan digantikan
oleh anaknya, Sultan Abdul Majid Hassan. Adapun Ong Sum Ping diangkat
sebagai Bupati. Namun pemerintahan Abdul Majid Hassan ternyata tidak
berlangsung lama. Pada tahun 1406, Sultan Abdul Majid Hassan meninggal
dunia. Pasca kepergiannnya, Brunei mengalami kebuntuan politik dan vacum of power
selama dua tahun. Pada masa ini terjadi perebutan kekuasaan diantara
para bangsawan dan dimenangi oleh Sultan Ahmad, saudara Sultan Muhammad
Shah yang juga adik ipar Ong Sum Ping.
Pada masa ini, Ong Sum Ping telah memasuki usia lanjut. Dia
mengirimkan seorang diplomat dan dikawal oleh pasukan menuju ke China
untuk memberitahu kepada Kaisar Yong Le dari Dinasti Ming tentang
kondisi Brunei dan rencana kepulangan Ong Sum Ping ke China. Kaisar Yong
Le senang dan melakukan penyambutan besar atas kedatangannya. Ong Sum
Ping akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di China. Kekuasaan Ong Sum
Ping di Brunei dilanjutkan oleh anaknya, Awang. Dia berhasil
menjalankan kekuasaan politik dengan baik dan memiliki legitimasi yang
kuat karena membawa nama besar ayahnya. Cerita tentang Awang selanjutnya
tidak banyak diketahui.
Begitu besarnya peran Ong Sum Ping terhadap Brunei membuat banyak
masyarakat Brunei yang mempercayai bahwa Ong Sum Ping merupakan salah
satu pendiri Kesultanan Brunei. Namun pandangan tersebut tidak
disepakati oleh kalangan Kesultanan karena Sultan menganut asas Melayu,
Islam dan Beraja. Meskipun demikian, Kesultanan masih sangat menghormati
Ong Sum Ping. Hal ini ditunjukkan dengan pemberian nama jalan Ong Sum
Ping di Ibukota Bandar Seri Begawan dan pembuatan museum yang berisi
artefak Ong Sum Ping.
Sultan Syarif Ali
Kembali ke masalah Kesultanan. Sementara itu, Sultan Ahmad menikahkan
putrinya dengan Sultan Syarif Ali, seorang pria yang berasal dari
Semenanjung Arab dan masih termasuk kerabat Nabi Muhammad. Sultan Syarif
Ali inilah yang akhirnya menjadi Sultan setelah Sultan Ahmad.
Dibawah kepemimpinan Sultan Syarif Ali, Brunei mengalami kemajuan
yang sangat baik. Kesultanan Brunei mulai melakukan ekspansi secara
bertahap dan melakukan perluasan pengaruh ke beberapa negara. Kemajuan
Brunei semakin pesat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada
tahun 1511. Sistem monopoli yang diterapkan oleh Portugis membuat
sebagian besar pedagang mengalihkan perdagangannya ke pelabuhan Brunei.
Banyaknya pedagang muslim yang masuk ke Brunei membuat pertumbuhan Islam
di Brunei berlagsung dengan sangat cepat.
Satu hal yang penting untuk dicatat adalah Kesultanan Brunei menganut
sistem Thalassocracy, sebuah sistem dimana fungsi Kesultanan bukanlah
untuk mengendalikan kepemilikan tanah tetapi mengendalikan perdagangan.
Masyarakat menganut sistem hierarkis dimana Sultan sebagai pucuk
pemimpinnya. Kekuasaan Sultan terbatas dan diawasi oleh sebuah Dewan
yang memiliki fungsi mengatur dan mengadakan suksesi Sultan.
Sultan Bolkiah
Kesultanan Brunei mengalami kejayaan pada masa Sultan Bolkiah. Pada
masa ini kekuasaan Brunei semakin meluas dari Serawak, Sabah, Kepulauan
Sulu hingga ujung barat laut Kalimantan. Pengaruh Sultan juga menyebar
hingga ke Filipina dan memasukkan Teluk Manila kedalam koloninya. Selain
itu Sultan juga menjalin hubungan yang baik dengan Raja di Jawa dan
Malaka. Kemakmuran ini dinikmati oleh semua rakyat Brunei, hampir semua
rakyat memiliki rumah kayu yang berdiri diatas air, sebuah simbol
kehidupan megah pada masa itu.
Pada tahun 1521, Antonio Pigafetta, seorang navigator dalam ekspedisi
Ferdinand Magellan menjadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Brunei.
Dalam perjalanannya, Pigafetta menggambarkan Brunei sebagai sebuah kota
yang sangat menakjubkan. Setiap tamu besar yang akan bertemu dengan
Sultan selalu diantar menggunakan Gajah dengan tempat duduk yang
berlapiskan kain sutra. Penduduk istana menggunakan pakaian yang terbuat
dari kain sutera bersulam emas, dihiasi dengan mutiara dan memiliki
banyak cincin dari batu mulia.
Para pengunjung juga disuguh makanan menggunakan piring porselen,
sebuah alat makan yang begitu megah pada masa itu. Istana sultan juga
dikelilingi oleh tembok batu bata yang dilengkapi oleh tiang kuningan
dan meriam besi. Era kemakmuran berlangsung hingga Sultan kesembilan
yakni Sultan Hassan.
Setelah berakhirnya kepemimpinan Sultan Hassan, Brunei kehilangan
sosok pemimpin dan mengalami penurunan. Penurunan tersebut disebabkan
oleh berbagai hal. Diantaranya adalah pengaruh kekuasaan Eropa yang
begitu menonjol di daerah, banyaknya terjadi perebutan kekuasaan di
antara kaum bangsawan, kemunduran sistem perdagangan tradisional, serta
perpecahan diantara Kesultanan di Asia Tenggara.
Hubungan dengan Portugis
Ekspedisi yang dilakukan oleh Ferdinand Magellan tersebut menjadi
titik tolak dinamika hubungan antara Brunei dengan bangsa Eropa.
Diantara beberapa bangsa Eropa yang menjalin hubungan dengan Brunei,
dapat dikatakan bahwa Portugis merupakan satu-satunya yang tidak banyak
membuat masalah.
Hubungan Brunei dengan Portugis cenderung hangat dan tidak terlalu
banyak masalah, keduanya hanya fokus pada masalah perdagangan dan
ekonomi. Portugis tidak terlalu banyak mencampuri urusan dalam negeri
Brunei dan cenderung bersahabat dengan Sultan. Namun bukan berarti
keduanya sama sekali tidak memiliki masalah. Beberapa kali tercatat
insiden yang melibatkan keduanya seperti saat tahun 1536 Portugis
melakukan penyerangan terhadap muslim di Maluku, Sultan marah dan
melakukan pengusiran terhadap Duta Besar Portugis.
Portugis juga sempat beberapa kali bentrok dengan Brunei karena dalam
beberapa peperangan, pihak Kesultanan seringkali ikut membantu musuh
dalam melawan Portugis. Para pedagang Brunei juga sering dianggap
melanggar perjanjian karena melakukan aktivitas perdagangan di kawasan
Ligor dan Siam. Namun konflik yang terjadi diantara keduanya hanyalah
berupa insiden berskala kecil dan dapat dengan cepat mereda.
Konflik dengan Spanyol
Berbeda dengan Portugis, hubungan antara Brunei dengan Spanyol
cenderung sering memanas. Pada tahun 1565 terjadi insiden dan
pertempuran di perairan antara Brunei dan Spanyol. Pada tahun 1571,
hubungan semakin memanas ketika Spanyol berhasil merebut Manila dari
tangan Brunei. Hubungan keduanya menjadi semakin keruh dan Brunei sempat
memunculkan sebuah ancaman untuk melakukan penyerangan dengan
menggunakan armada besar dalam rangka merebut kembali kota tersebut.
Namun karena pertimbangan politis dan berbagai pertimbangan lainnya,
penyerangan tersebut batal untuk dilaksanakan dan Manila dibiarkan untuk
jatuh ke tangan Spanyol.
Pada tahun 1578, hubungan keduanya kembali memburuk karena Spanyol
mengambil Kesultanan Sulu dari Brunei. Tak hanya itu, Spanyol bahkan
juga melakukan penyerangan terhadap Kesultanan Brunei.
Spanyol menuntut Brunei untuk tidak menyebarkan dakwah Islam di
Filipina karena dianggap mengganggu kegiatan missionaris dalam
menyebarkan ajaran Kristen.
Selain itu Spanyol juga menuntut Brunei agar membuka diri terhadap para
missionaris di kawasan tersebut. Sayangnya upaya Spanyol untuk
menduduki kawasan Brunei tidak membuahkan hasil karena negeri itu sedang
dilanda oleh penyakit disentri dan kolera.
Kedua penyakit tersebut membuat Spanyol mengalami kerugian besar dan
akhirnya meninggalkan Brunei dan mundur kembali ke Manila pada tanggal
26 Juni 1578. Spanyol begitu kuat dalam menghadapi senjata tetapi lemah dalam
menghadapi penyakit, pendudukan atas Brunei pun akhirnya hanya bertahan
selama 72 hari. Kerugian yang diderita oleh Brunei akibat pertempuran tersebut tidak
terlalu besar karena tidak lama kemudian Kesultanan Sulu berhasil
direbut kembali oleh Brunei, namun sayangnya Brunei juga harus
kehilangan Luzon yang biasa menjadi tempat pijakan karena direbut oleh
Spanyol.
Era Penjajahan Inggris
Kekalahan Brunei dalam melawan Spanyol membawa petaka bagi kondisi
dalam negeri Brunei. Perpecahan antar daerah sudah tidak dapat
dihindarkan lagi, banyak daerah yang menggunakan momentum tersebut untuk
melakukan pemberontakan dan menuntut kemerdekaan dari Brunei. Namun
karena Kesultanan memiliki sikap yang sangat adil terhadap rakyatnya,
pemberontakan pun dapat diredam dengan cukup mudah.
Namun pertahanan Brunei akhirnya jebol juga. Tiga abad kemudian,
perpecahan dan pemberontakan kembali terjadi di tanah Brunei.
Pemberontakan yang cukup terkenal terjadi pada masa Sultan Omar Ali
Saifuddin II. Tepatnya pada tahun 1839 terjadi pemberontakan di Serawak,
pemberontakan ini cukup merepotkan Kesultanan namun atas bantuan James
Brooke, pemberontakan akhirnya berhasil dipadamkan.
Atas jasanya membantu memadamkan pemberontakan, Brooke diangkat
sebagai gubernur Serawak dan mendapat gelar “Rajah Putih”. Namun
ternyata Brooke memiliki maksud tersembunyi, sejak menjabat sebagai
gubenur, wilayahnya semakin diperluas secara bertahap. Bahkan ia pernah
meminta pemerintah Inggris untuk meneliti seberapa besar potensi Brooke
untuk dapat menguasai Brunei, akan tetapi hasilnya mengecewakan.
Rekomendasi dari pemerintah Inggris menunjukkan bahwa meskipun Brunei
memiliki pemerintah yang sangat buruk, namun rakyatnya memiliki
loyalitas dan identitas nasional yang sangat tinggi sehingga peluang
Brooke untuk menguasai Brunei kecil.
Maksud tersembunyi ini akhirnya tercium juga oleh Sultan. Pada tahun
1843 terjadi konflik terbuka antara Brooke dan Sultan yang berakhir
dengan kekalahan di pihak Brunei. Sultan akhirnya terpaksa mengakui
kemerdekaan Serawak. Lepasnya Serawak membuat gerakan Inggris menjadi
semakin mudah karena memiliki kawasan yang lebih strategis.
Pada tahun 1846, Brunei Town diserang oleh pasukan Inggris. Ibukota
Brunei tersebut ditaklukan dengan mudah oleh pasukan Inggris. Sultan
Saifuddin II pun ditangkap dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian
untuk mengakhiri pendudukan Inggris atas kota Brunei. Pada tahun yang
sama, Sultan Saifuddin II kembali dipaksa untuk menandatangani
Perjanjian Labuan yang berisi penyerahan Labuan kepada Inggris. Pada
tahun 1847, Brunei menandatangani Perjanjian Perdagangan dan
Persahabatan dengan Inggris. Pada tahun 1850, Brunei menandatanganu
perjanjian serupa dengan Amerika Serikat.
Wilayah kekuasaan Brunei pun semakin mengecil, sedikit demi sedikit
Sultan dipaksa untuk menyerahkan wilayahnya kepada Serawak. Pada tahun
1877, Inggris juga memaksa Brunei untuk menandatangani perjanjian
penyewaan lahan yang ada disebelah timur (kini bernama Sabah) kepada
Perusahaan Borneo Utara milih Britania Raya. Wilayah Brunei yang awalnya
begitu luas pun berubah menjadi kecil mungil akibat dikikis oleh
Inggris.
Kekuasaan Brunei yang sangat terbatas membuatnya menjadi sangat
lemah, akibatnya Brunei menjadi negara yang lemah dan tak berdaya.
Kondisi tersebut membuat Sultan Hasyim Alilul Alam Aqamaddin
menandatangani perjanjian degan Inggris pada tahun 1888 yang meletakkan
Brunei di bawah perlindungan Inggris. Ketidakberdayaan Brunei semakin
terlihat saat Sultan mengirimkan permintaan kepada pemerintah Inggris
agar mengirimkan warga Inggris ke Brunei untuk membantu menjalankan
pemerintahan.
Permintaan tersebut baru dipenuhi pada tahun 1906, warga Inggris
mulai dikirimkan untuk membangun Brunei. Sebuah kantor bea cukai dan
pertanahan mulai dibangun, kepolisian Brunei juga mulai dibangun. Pada
tahun 1911, Inggris juga mendirikan sekolah melayu. Kemakmuran Brunei
mulai kembali terlihat sejak ditemukannya minyak di Seria pada tahun
1929.
Pembangunan di Brunei sempat terhenti saat terjadi Perang Dunia
Kedua. Brunei diduduki oleh Jepang pada tahun 1941-1945. Inggris tidak
mampu mempertahankan Brunei dari serangan Jepang meskipun sebenarnya
Inggris masih memiliki perjanjian protektorat dengan Brunei.
Proses Kemerdekaan Brunei
Pada tahun 1959, Brunei mengeluarkan sebuah konstitusi baru yang
menyatakan pembentukan pemerintahan sendiri, sedangkan urusan luar
negeri, pertahanan dan keamanan tetap menjadi milik Britania Raya yang
diwakili oleh Komisaris Tinggi. Sebenarnya Brunei sudah berusaha untuk
menggunakan sistem badan legislatif terpilih yang diwakili oleh partai
politik, namun usaha tersebut gagal akibat pemberontakan yang dilakukan
oleh partai oposisi, Partai Rakyat Brunei pada tahun 1962. Pemberontakan
bersenjata tersebut berhasil digagalkan oleh pasukan bersenjata
Inggris.
Pada awal tahun 1960-an, Brunei mendapat tawaran untuk bergabung
dengan Malaysia, negara tetangga yang baru saja merdeka. Namun tawaran
tersebut ditolak, Sultan tetap memutuskan untuk membentuk Brunei sebagai
negara yang terpisah dari Malaysia. Pada tahun 1967, Sultan Omar Ali
Saifuddin turun takhta dan digantikan anak sulungnya, Sultan Hassanal
Bolkiah. Sementara itu mantan Sultan Omar Ali Saifuddin menjabat sebagai menteri pertahanan dan mengambil gelar “Seri Begawan”.
Pada tahun 1970, Ibukota Brunei Town berubah nama menjadi Bandar Seri
Begawan dengan tujuan untuk menghormati jasa Sultan Omar Ali Saifuddin.
Sembilan tahun kemudian, Brunei dan Inggris menandatangani perjanjian
baru berupa Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan. Barulah pada tanggal 1
Januari 1984 Brunei memperoleh kemerdekaannya secara penuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar