Tepi sungai Gambia telah dihuni manusia sejak ribuan tahun yang lalu.
Menurut catatan sejarah, pada abad kelima (470) sebelum Masehi,
beberapa orang Eropa kuno, dari suku Carthagenia (Kartago) berlayar ke
Gambia. Dan menetap di sana serta menjdi pendorong utama berdirinya
kerajaan-kerajaan di Afrika. Seiring jatuhnya Kekaisaran Romawi,
terputuslah usaha bangsa Cathegenia di Gambia dan Afrika Barat, dan
ketika Islam terbit dan berpengaruh luas di Afrika Utara pada abad
ke-11, maka Islam akhirnya menyebar juga ke selatan, meliputi Senegal,
Gambia, Mali dan seluruh Afrika Barat. Pengaruh Islam semakin besar,
ketika pada abad ke-14 berdiri Kekaisaran Mali (Malinke/Mandinka) yang
didirikan oleh Sundiata Keita, yang mempunyai pengaruh luas sampai ke
selatan (Liberia dan Sierra Leone) dan ke barat sampai ke Senegal dan
Gambia.
Gambia memang sangat unik, negara kecil seluas negara bagian Delaware
Amerika Serikat, pernah dijajah Portugal, Belanda, Jerman, Perancis dan
Inggris. Sebenarnya, suku Wolof, Malinke dan Fulani pada abad ke-13
adalah suku-suku pertama yang tinggal di daerah yang saat ini dikenal
dengan Gambia. Dengan wilayah seluas 11.300 km2, beriklim panas, kering,
hujan dan dingin, dihuni oleh sekitar 1.546.848 orang. 90% beragama
islam (Sunni), 9% Kristen/Katholik, dan 1% Animisme. Agka pertumbuhan
penduduk berkisar 2,98%, angka kelahiran 40,3 dan angka kematian 12,08
per-1000. Komposisi etnis 99% asli Afrika (Mandika 42%, Fulani 18%,
Wolof 16%, Jola 10%, Serahuli dan lainnya 13%), non-Afrika hanya 1%.
Bahasa nasional Gambia adalah Inggris, di samping itu dipergunakan
bahasa lokal, antara lain Mandika, Wolof, dan Fulani.
Ekonomi
Gambia tidak mempunyai mineral atau sumberdaya alam yang penting, seperti minyak, gas, besi dan sebagainya Gambia hanya mempunyai lahan pertanian yang terbatas. 75% penduduk sangat bergantung pada panen (padi) dan hasil peternakan sebagai mata pencaharian pokoknya. Dalam skala kecil mereka mengusahakan industri yang berbasis pada produk kacang, ikan dan kulit. Ekonomi hanya tumbuh sekitar 3%, sedangkan inflasi berkisar 14%. Angkatan kerja (400.000 orang) diserap oleh bidang pertanian 75%, industri dan jasa 19% serta pemerintah 6%. Income per-capita berkisar US $ 1,000,-, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per-tahun 3,8% dan inflasi 2,2%. Hasil pertanian berkisar pada beras, kacang, sorghum, jagung dan peternakan, sedangkan hasil industri berkisar pada produk kacang, ikan kulit, turis dan pakaian.
Gambia tidak mempunyai mineral atau sumberdaya alam yang penting, seperti minyak, gas, besi dan sebagainya Gambia hanya mempunyai lahan pertanian yang terbatas. 75% penduduk sangat bergantung pada panen (padi) dan hasil peternakan sebagai mata pencaharian pokoknya. Dalam skala kecil mereka mengusahakan industri yang berbasis pada produk kacang, ikan dan kulit. Ekonomi hanya tumbuh sekitar 3%, sedangkan inflasi berkisar 14%. Angkatan kerja (400.000 orang) diserap oleh bidang pertanian 75%, industri dan jasa 19% serta pemerintah 6%. Income per-capita berkisar US $ 1,000,-, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata per-tahun 3,8% dan inflasi 2,2%. Hasil pertanian berkisar pada beras, kacang, sorghum, jagung dan peternakan, sedangkan hasil industri berkisar pada produk kacang, ikan kulit, turis dan pakaian.
Angka eksport sebesar US $ 156 juta, dan import sebesar US $ 271
juta. Komoditi eksport adalah produk kacang, ikan dan kain, dengan
patner eksport Malaysia, Inggris, Belgia, Cina, Jerma, Italia dan
Thailand. Sedangkan komoditi importnya adalah bahan makanan, manufaktur
dan permesinan dengan patner import Cina, Senegal, Inggris, Brazil,
Belanda, dan India. Indonesia belum termasuk dalam keduanya.
Gambia juga mendulang devisa dari dunia turisme (pariwisata), karena
Gambia mempunyai banyak obyek wisata maupun event yang mampu menarik
para pelancong dari mancanegara, khsususnya dari Amerika Serikat dan
Eropa. Obyek wisata terkenal di Gambia antara lain ‘stone circles’
(diidentikkan dengan pyramid di Mesir) di Kerr Batch dan Wassu, pantai
yang indah (Bakau, Fajara, Kotu dan Kololi), serta event internasional
yang sangat diminati para turis, yaitu ‘International Roots Festival’
(mengenang zaman perbudakan), yang berisikan materi: musik, tari, seni
dan seminar. Mata uang Gambia adalah Dalasi (GMD), US $ 1,- = 19,9189
GMD.
Sejarah Pemerintahan
Nama lengkap Gambia adalah Republic of The Gambia dengan ibukotanya BANJUL, terbagi dalam 5 divisi dan 1 kota. Banjul didirikan pada tahun 1816 oleh Henry Bathurst, Sekretaris Kantor Kolonial Inggris di Gambia, namun terhitung tahun 1973, Bathurst diganti dengan Banjul. Gambia memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tanggal 18 Pebruari 1965.
Nama lengkap Gambia adalah Republic of The Gambia dengan ibukotanya BANJUL, terbagi dalam 5 divisi dan 1 kota. Banjul didirikan pada tahun 1816 oleh Henry Bathurst, Sekretaris Kantor Kolonial Inggris di Gambia, namun terhitung tahun 1973, Bathurst diganti dengan Banjul. Gambia memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tanggal 18 Pebruari 1965.
Untuk memperoleh kemerdekaan, rakyat Gambia memperjuangkannya dengan
sangat berat. Karena sebagaimana lazimnya negara berkembang, Gambia tak
dapat melepaskan diri dari penjajahan dan perbudakan. Penjajah pertama
yang masuk Gambia adalah Portugal yang dating pada abad ke-15, tepatnya
pada tahun 1455, ketika Alvise de Cadamosto dan Antonio Usi di Mare
mendarat di James Island, Gambia. Mereka akhirnya memonopoli perdagangan
gading, budak, emas, dan garam di Gambia sampai dengan abad ke-16.
Selanjutnya, Jerman, Belanda, Perancis dan terakhir Inggris menguasai
Gambia. Menurut catatan sejarah, orang-orang Barat sebenarnya dating ke
Gambia, lebih menitikberatkan pada perdagangan budak, karena Gambia
adalah pintu gerbang perdagangan budak. Dari tahun 1520-1820,
diperkirakan 10 juta budak diperjualbelikan oleh mereka, sebagian besar
berasal dari Afrika Barat. Di Amerika, sebagaimana diceritakan dalam
buku ‘Roots’, salah satu budak dari Gambia yang dikenal dengan nama
Kunta Kinte, mempunyai keturunan di negara bagian Maryland, dengan
mewariskan segenap budaya Gambia. Kunta Kinte (lahir tahun 1750)adalah
salah seorang budak dari 98 budak yang di bawa ke Amerika pada tahun
1767. Beliau adalah keturunan Kairaba Kunta Kinte, orang suci suku
Mandinka, Gambia. Salah seorang keturunan Kunta Kinte adalah Alex Haley,
penulis buku ‘Roots’ tersebut. Keluarga Kunta Kinte sangat disegani di
Maryland.
Pada tahun 1820, Gambia dijadikan negara protektorat Inggris, dan
pada tahun 1843, menjadi bagian dari koloni Kerajaan Inggris. Lelah
dijajah, masyarakat Gambia berhasrat mengurus dirinya sendiri, setelah
terjadi Perang Dunia II. Akhirnya pada tanggal 18 Pebruari 1965, Inggris
bersedia memberikan kemerdekaan kepada Gambia, dengan Ratu Elizabeth
sebagai Kepala Negara. Setelah diadakan referendum, maka pada tanggal 24
April 1970, Gambia berubah menjadi Republic of The Gambia. Oleh karena
itu, Gambia memperingati hari kemerdekaannya sebanyak dua kali, yaitu,
pertama tanggal 18 Pebruari, dan kedua 24 April. Sebagai presiden
pertama, terpilih Sir Dawda Kairaba Jawara. Beliau terpilih kembali
sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1972 dan tahun 1977. Pada tahun 1981
terjadi kudeta, yang dikomndai oleh Kukoi Samba Sanyang, namun kudeta
ini dapat digagalkan dengan bantuan tentara dari Senegal. Karena bantuan
inilah, Gambia akhirnya membentuk negara konfederasi dengan Senegal
pada tahun 1982 – 1989, ketika Senegal dipimpin oleh Abdou Diouf. Negara
konfederasi tersebut akhirnya berantakan pada tahun 1989. Beliau
berkuasa sampai dengan tahun 1994. Namun pada bulan uli 1994, seorang
letnan muda, yaitu Al-Hajj Yahya Alphonse Jamus Jebulai (AJJ) Jammeh
berhasil menurunkan presiden Dawda K. Jawara. Yahya Jammeh berkuasa
hingga tahun 2006. Gambia termasuk negara Afrika yang maju selangkah
dalam hal gender, karena wakil presiden Gambia saat ini dijabat oleh
seorang wanita, yaitu Isotou Njie Saidy.
Perkembangan Islam di Gambia
Islam masuk Gambia melalui Senegal, dan pembawa misi Islam adalah para pedagang Arab (Maroko) dan Berber dari Mauritania. Ditengarai, Islam masuk Gambia pada abad ke-10, di mana suku Wolof, salah satu suku terbesar di Gambia memeluk Islam. Menurut Prof. Omar Gah, Kepala Studi Islam dan Bahasa Arab di Gambia University, Islam masuk Gambia pada abad ke-10, 6 (enam) abad sebelum agama Kristen masuk Gambia. Menurut beliau, jumlah pemeluk Islam di Gambia saat ini adalah 95% (bukan 90%), dan pemeluk Kristen hanya 4%. Namun sayangnya, walaupun presiden Yahya Jammeh seorang muslim, dan Kristen hanya 4% – 9%, namun dalam pemerintahan Gambia, orang-orang Kristen dapat menduduki jabatan-jabatan strategis.
Islam masuk Gambia melalui Senegal, dan pembawa misi Islam adalah para pedagang Arab (Maroko) dan Berber dari Mauritania. Ditengarai, Islam masuk Gambia pada abad ke-10, di mana suku Wolof, salah satu suku terbesar di Gambia memeluk Islam. Menurut Prof. Omar Gah, Kepala Studi Islam dan Bahasa Arab di Gambia University, Islam masuk Gambia pada abad ke-10, 6 (enam) abad sebelum agama Kristen masuk Gambia. Menurut beliau, jumlah pemeluk Islam di Gambia saat ini adalah 95% (bukan 90%), dan pemeluk Kristen hanya 4%. Namun sayangnya, walaupun presiden Yahya Jammeh seorang muslim, dan Kristen hanya 4% – 9%, namun dalam pemerintahan Gambia, orang-orang Kristen dapat menduduki jabatan-jabatan strategis.
Sebagaimana Senegal, Islam di Gambia beraliran Suni, dan sebagian
besar dari mereka menganut paham sufi. Salah seorang pemimpin sufi
terkenal di Gambia adalah Syeikh Ibrahim Aladji Gassama Djabi (lahir
pada 11 Apil 1949). Beliau adalah putra sufi terkenal Gambia lainnya,
yaitu Syaikh Karamba Gassama Djabi, dan cucu dari tokoh sufi terkenal di
Gambia Jagolai Jagol Salim. Para pemuka sufi inilah yang membuat Islam
dapat berkembang cepat di Gambia maupun di Senegal, karena memang
keberadaan Gambia persis di tengah-tengah Senegal, seperti Yogyakarta di
tengah pulau Jawa. Para penganut sufi, baik yang barasal dari aliran
Qadiriyah maupun Tijaniyah mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan
rakyat Gambia, sekaligus sebagai ‘motor penggerak’ mengusir penjajah
(Inggris) dari tanah Gambia. Namun ketika peristiwa 11 September 2001
terjadi di Amerika Serikat (pemboman WTC), dan Islam dituduh sebagai
biang keladinya (teroris), maka rakyat Gambia, yang notabene sebagian
besar Muslim, gelisah. Oleh karena itu, seorang tokoh Islam terkenal di
Gambia, yaitu Prof. DR. Abdallah Dumbuya, yang dikenal di Saudi Arabia
sebagai Salem Bashanfer, atau Mohammed Hassem Sheikh Asheem Barakat atau
Abdallah Omar Ba Nkhar, menyalahkan organisasi atau kelompok garis
keras yang menjadikan Islam sebagai pembenaran untuk melakukan terror
atau kekerasan. Dalam Islam, ‘membunuh orang tak berdosa adalah haram’,
demikian kata Prof. Dumbuya. Dengan seruan tersebut, masyarakat Gambia
akhirnya tenang dan tak mau terlibat dalam urusan terorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar