Semenjak kudeta yang diluncurkan oleh elit politik, bisnis, dan pihak
militer di Honduras bulan Juni lalu, dimana Presiden Jose Manuel Zelaya
dipaksa turun dari jabatannya, media internasional telah dipenuhi
dengan berita bahwa kudeta ini dilakukan karena Zelaya ingin merubah
konstitusi secara tidak demokratis untuk memperkuat kekuasaannya.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya pemilik modal di Honduras digambarkan
sebagai pembela demokrasi yang siap melakukan apapun untuk melawan
kediktaturan Zelaya ini.
Yang terjadi di Honduras adalah tidak lain sebuah kudeta militer
klasik yang sudah sering terjadi di Amerika Latin, dimana seorang
pemimpin negara yang popular yang ingin membela rakyatnya disingkirkan
dari pemerintah oleh kaum elit politik, bisnis, dan militer. Biasanya
ini dilakukan dengan bantuan dan dukungan Amerika Serikat karena
kepentingan politik dan ekonomi negara AS di daerah tersebut. Kudeta di
Honduras ini di permukaannya tampak berbeda karena tidak didukung
sepenuhnya oleh pemerintah AS. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah AS
di bawah Obama telah berubah? Apakah memang kudeta ini adalah aksi
sejati untuk mempertahankan demokrasi di Honduras?
Ekonomi Republik Pisang
Honduras adalah sebuah negara kecil yang berpenduduk 7.5 juta orang,
lebih kecil dari pada Jakarta. Dengan area yang kira-kira seluas pulau
Jawa, Honduras terletak di Amerika Tengah berseberangan dengan
Guatemala, El Salvador, dan Honduras. Tidak jauh dari pantai Honduras di
barat adalah Kuba.
Honduras adalah salah satu negara termiskin di Amerika Latin, dengan
53% rakyat Honduras hidup di bawah garis kemiskinan. 24% rakyat Honduras
bahkan hidup di bahwa garis kemiskinan ekstrim. Kesenjangan ekonomi di
Honduras juga sangat tinggi, dimana 20% kalangan bawah Honduras hanya
mengkonsumsi 5% ekonomi, sedangkan 20% kalangan atas Honduras
mengkonsumsi lebih dari 50% ekonomi.
Ekonomi Honduras berpusat pada pertanian dengan penghasilan utama
pisang dan kopi. Pada permulaan 1990, 65% pendapatan ekspor didominasi
oleh kopi dan pisang. Tetapi pada tahun 2002, ini menurun hingga 24%
karena harga dunia yang anjlok. Ini benar-benar memukul ekonomi
Honduras, terutama kesejahteraan rakyat pekerja dan petani.
Semua aspek kehidupan rakyat Honduras dipengaruhi oleh satu komoditi,
yakni pisang. Semenjak tahun 1899, tahun pertama pengiriman produk
pisang dari Honduras ke New Orleans, AS, perekonomian dan politik
Honduras dikuasai oleh perusahaan buah-buahan Standard Fruit Company,
Cuyamel Fruit Company, dan United Fruit Company. Ketiga perusahaan ini
menguasai hampir semua tanah pertanian terbaik Honduras, dan mereka
secara langsung juga menguasai arena politik Honduras guna menciptakan
iklim yang stabil untuk bisnis pisang mereka. Kepentingan
perusahaan-perusahaan ini di Honduras (dan juga negara-negara Amerika
Tengah lainnya) sangatlah besar sehingga pemerintahan AS pun membantu
melatih tentara Honduras untuk menjaga supremasi perusahaan
multinasional tersebut. Dari sinilah rujukan Banana Republic
diberikan pada negara-negara Amerika Tengah yang dikuasai oleh diktatur
yang didukung oleh perusahaan pisang. Ungkapan Republik Pisang digunakan
pertama kalinya oleh penulis O. Henry dari AS di bukunya pada tahun
1904 yang berdasarkan pengalaman dia ketika tinggal di Honduras
Intervensi ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan buah-buahan ini
menghambat perkembangan ekonomi Honduras karena mereka hanya tertarik
untuk mengembangkan perkebunan pisang. Semua lahan terbaik direbut
dengan bantuan paramiliter dan para petani dipaksa untuk menanam pisang.
Sektor-sektor ekonomi lainnya, terutama sektor industri menengah dan
berat, tidak dikembangkan sama sekali. Para oligarki kapitalis pun tidak
tertarik lagi untuk mengembangkan sektor industri Honduras lainnya
karena mereka sudah puas bertindak sebagai penguasa lokal untuk
perusahaan buah-buahan multinasional tersebut.
Sejarah Perlawanan
Penindasan dan kemiskinan selalu melahirkan perlawanan. Rakyat
Amerika Latin terkenal dengan semangat perjuangannya. Awal tahun 1900
Amerika Tengah dipenuhi dengan pemberontakan dan revolusi, sebuah
periode yang kerap disebut Banana Wars (Perang Pisang). Di dalam
periode tersebut, pemerintahan AS mengintervensi secara langsung untuk
memadamkan pemberontakan-pemberontakan di Amerika Tengah dan menjaga
kepentingan ekonomi di daerah tersebut, terutama kepentingan perusahaan
buah-buahan AS. Pasukan tentara AS dikirim ke Amerika Tengah dan
kapal-kapal perang berlabuh di pantai-pantai kelautan Karibia. Di
Honduras, pasukan Amerika dikirim pada tahun 1903, 1907, 1911, 1912,
1919, 1924, dan 1925.
Semua ini adalah bagian dari kebijakan Monroe Doctrine (Doktrin
Monroe) yang diamendemen oleh Presiden AS saat itu, Theodore
Roosevelt, pada tahun 1904. Amandemen tersebut menyatakan bahwa AS
memiliki hak untuk mengintervensi dan menstabilkan ekonomi di
negara-negara kecil Amerika Tengah. Dengan penuh kesombongan, Roosevelt
di depan Kongres pada tahun 1904 mengatakan:
“Apa yang negara ini [AS] inginkan adalah untuk menyaksikan
negara-negara tetangga stabil, damai, dan makmur. Setiap negara yang
rakyatnya berkelakuan baik akan mendapatkan persahabatan kita. Bila
sebuah negara menunjukkan bahwa ia tahu bagaimana berkelakuan dengan
efisien dan sopan dalam hal sosial dan politik, bila ia menjaga
perdamaian dan melakukan kewajibannya, ia tidak perlu takut akan
intervensi dari AS. Kesalahan yang fatal, atau ketidakmampuan yang
menyebabkan kegoyahan di dalam masyarakat sipil, di AS ataupun dimana
saja, pada akhirnya membutuhkan intervensi dari negara yang beradab. Dan
di belahan bumi Barat, ketaatan AS pada Doktrin Monroe dapat memaksa
AS, walaupun enggan, untuk menjadi kekuatan polisi internasional di
dalam kasus kekeliruan atau ketidakmampuan yang paling buruk.”
Pemerintahan Amerika Serikat hanya akan bersahabat dengan “rakyat
yang berkelakuan baik”, dalam kata lain rakyat yang tidak melawan ketika
bangsanya ditindas dan dimiskinkan.
Perlawanan terbesar dari para petani dan pekerja pisang di Amerika
Tengah terjadi di Kolombia pada tahun 1928, yang berakhir tragis dengan Banana Massacre
(Pembantaian Pisang) dimana lebih dari seribu pekerja ditembak mati.
Pada bulan Desember 1928, buruh perkebunan pisang di Kolombia yang
dimiliki oleh United Fruit Company (yang sekarang bernama Chiquita
Brands International) mogok kerja menuntut kontrak kerja yang tertulis,
9-jam kerja, dan 6-hari kerja. Pemogokan ini dianggap sebagai aksi
subversif yang dapat membahayakan kepentingan ekonomi United Fruit
Company, dan Jendral Cortes Vargas dan tentaranya menembaki kerumunan
para buruh dan keluarga mereka yang baru saja keluar dari gereja pada
hari Minggu (6 Desember 1928) dan menunggu pidato dari gubernur.
Pembantaian berlanjut dimana para pemimpin buruh dikejar dan dieksekusi
langsung oleh pemerintah Kolombia. Pemerintahan Amerika Serikat dan
United Fruit Company jelas memainkan peran langsung; berikut ini adalah
beberapa telegram dari pejabat-pejabat AS di Kolombia:
“…Kementerian Luar Negeri [Kolombia] pada hari Sabtu mengatakan pada
saya bahwa pemerintah [Kolombia] akan mengirim pasukan tambahan dan akan
menangkap semua pemimpin pemogokan …; bahwa pemerintah akan memberikan
perlindungan yang memadai untuk kepentingan Amerika Serikat.” (5
Desember 1928, dari Duta Besar AS di Bogota untuk Sekretaris Negara AS)
“Perasaan kaum proletar yang menentang Pemerintah, yang juga
dirasakan oleh beberapa prajurit, sangat tinggi dan saya ragu kalau kita
dapat mengandalkan Pemerintah Kolombia untuk perlindungan. Bolehkah
saya usulkan kalau permohonan saya untuk menghadirkan kapal perang
Amerika dikabulkan dan kapal perang tersebut siap sedia menunggu
panggilan saya.” (6 Desember 1928, dari Konsulat Santa Marta untuk
Sekretaris Negara AS)
“ Dengan bangga saya melaporkan bahwa pengacara United Fruit Company
menyatakan kemarin bahwa jumlah pemogok yang dibunuh oleh tentara
Kolombia mencapai sekitar 500 hingga 600.” (29 Desember 1928, dari Duta
Besar AS di Bogota untuk Sekretaris Negara AS)
“Dengan bangga saya melaporkan bahwa perwakilan United Fruit Company
mengatakan kepada saya kemarin bahwa jumlah pemogok yang dibunuh oleh
tentara Kolombia melebih 1000 orang” (16 Januari 1929, dari Duta Besar
AS di Bogota untuk Sekretaris Negara AS)
Begitulah kekejaman Republik-Republik Pisang yang didukung oleh
kekuatan Amerika Serikat. Kudeta, pembantaian, intervensi langsung
tentara AS, semua ini adalah bagian dari kehidupan sehari-hari rakyat
Amerika Latin yang kerap melawan lagi dan lagi.
Kudeta Honduras di Abad ke-21
Memasuki abad ke 21, sebuah gelombang revolusioner berkobar di
Amerika Latin. Kali ini gelombang revolusi ini bukan dikobarkan dengan
moncong senjata pasukan-pasukan gerilya seperti pada tahun 1960-80,
tetapi dengan partisipasi massa yang aktif di perkotaan. Dimulai di
tanah Venezuela dengan gerakan Bolivarian, gelombang revolusi ini
mempengaruhi seluruh Amerika Latin.
Presiden Zelaya yang terpilih pada tahun 2005 ditumbangkan oleh kelas
oligarki Honduras karena kebijakan-kebijakannya yang dinilai berbahaya
bagi kepentingan modal. Beberapa kebijakan yang progresif yang
diterapkan oleh pemerintahan Zelaya adalah kampanye pemberantasan buta
huruf yang mengambil model program serupa di Kuba dan Venezuela, upaya
peningkatan layanan kesehatan bagi kalangan-kalangan miskin di
masyarakat (termasuk akses terjangkau untuk obat, beasiswa penuh bagi
mahasiswa kedokteran untuk belajar di Kuba), pemotongan bunga pinjaman
bagi para petani kecil, serta kenaikan upah minimum sebesar 60%.
Selain itu Zelaya juga berusaha mematahkan monopoli
perusahaan-perusahaan multinasional dalam urusan impor BBM. Dia juga
menandatangani perjanjian untuk mengimpor obat-obatan generik yang lebih
murah dari Kuba dan Venezuela untuk menggantikan impor mahal dari
perusahanan-perusahaan farmasi multinasional.
Inilah alasan mengapa kaum oligarki Honduras bergerak menumbangkan
Zelaya pada tanggal 28 Juni lalu. Dengan bantuan tentara, Zelaya diculik
dari istana presidennya dan diasingkan ke Kosta Rika. Alasan bahwa
Zelaya harus ditumbangkan karena dia berusaha mempertahankan
kekuasaannya (dengan menghapuskan batasan jabatan presiden) melalui
referendum adalah satu kebohongan. Bahkan jika ini benar, bukankah
referendum rakyat adalah justru demokratis. Bila rakyat menghendaki
Zelaya untuk kembali menjadi presiden Honduras karena dinilai melakukan
pekerjaaan yang baik, bukankah ini adalah demokrasi?
Akan tetapi, masalah utamanya bukanlah karena rencana referendum
Zelaya. Ini hanyalah alasan untuk menurunkan Zelaya yang tindakannya
mulai mengancam kepentingan kaum modal di Honduras. Terutama di saat
gelombang perubahaan sedang menyapu Amerika Latin, kebijakan progresif
Zelaya dilihat sangat berbahaya karena dapat mendorong rakyat Honduras
untuk menjadi lebih radikal.
Zelaya sendiri sebenarnya datang dari keluarga yang kaya raya. Dia
memiliki bisnis besar di peternakan dan perhutanan. Dia datang dari
kelas oligarki. Seorang teman Zelaya, seorang pengusaha tekstil bernama
Adolfo Facusse yang merupakan presiden Asosiasi Industri Nasional,
mengatakan bahwa: “Zelaya adalah salah satu dari kelompok kita, namun
dia kehilangan kontrol.” Ya, Zelaya adalah bagian dari elit Honduras,
akan tetapi dia dicampakkan oleh teman-temannya dan juga partainya
(Partai Liberal Honduras) karena setelah menjadi presiden dia mulai
melakukan kebijakan-kebijakan untuk rakyat miskin Honduras. Presiden
Dewan Bisnis Swasta di Honduras, Amilcar Bulnes, mengatakan bahwa dia
dan teman-teman Zelaya telah memperingati dia untuk tidak melakukan
kebijakan-kebijakan seperti Chavez: “Kita menyuruh dia untuk tidak
melakukan hal-hal tersebut, dan dia tidak memperdulikan kita”.
Tindakan Zelaya adalah manifestasi dari berkobarnya gelombang
perubahan di Amerika Latin. Kadang-kadang, bahkan individu dari kelas
yang berseberangan dapat terdorong ke kiri karena tekanan massa. Tetapi
seperti yang kita saksikan, individu ini akan langsung ditentang dan
dipotong dari kelas asalnya tanpa ragu-ragu. Teman-teman Zelaya, seluruh
kelas oligarki, tidak segan-segan mengusir Zelaya dari negaranya
sendiri dengan kudeta militer.
Intervensi AS
Kudeta ini segera ditentang oleh banyak negara di Amerika Latin, dan
yang mengejutkan ini juga ditentang oleh Amerika Serikat dan
negara-negara Barat lainnya. Apakah ini karena Amerika yang biasanya
mendukung rejim-rejim diktatur dan aktif menumbangkan pemimpin-pemimpin
popular telah menjadi sebuah pemerintah yang benar-benar demokratis dan
menghormati kemandirian bangsa-bangsa lain? Ternyata bila kita lihat
lebih jauh, bukanlah begitu. Dalam periode revolusioner yang sedang
melanda Amerika Latin dan posisinya yang lemah, Amerika Serikat merasa
bahwa kudeta militer bukanlah cara yang terbaik untuk menyingkirkan
Zelaya. Secara prinsipil, Amerika telah menunjukkan ketidaksetujuaan
dengan kebijakan-kebijakan Zelaya yang mengancam kepentingan ekonomi AS
dan juga dinilai subservif. Bahkan pemerintah AS mendukung tuduhan para
pelaku kudeta bahwa Zelaya telah melanggar konstitusi dengan rencana
referendumnya.
Obama pada hari Senin (10 Agustus) menyatakan kembali dukungannya
kepada Zelaya. Pada saat pertemuan tri-lateral dengan Presiden Meksiko
Felipe Calderon dan Perdana Menteri Kanada Stephen Harper, dia
mengatakan bahwa “Presiden Zelaya tetap merupakan presiden yang terpilih
secara demokratis dan demi rakyat Honduras, ketertiban demokrasi dan
konstitusi harus dipulihkan.”
Tetapi pada saat yang sama, Departemen Luar Negeri AS (State Department)
baru saja mengeluarkan sebuah surat pernyataan yang menarik dukungan
mereka terhadap Presiden Zelaya. Surat tersebut mengatakan bahwa kudeta
ini terjadi karena Zelaya mengambil sikap provokatif: “Kita juga
mengakui bahwa kekeraskepalaan Zelaya untuk mengambil aksi-aksi yang
provokatif telah menyebabkan polarisasi di dalam masyarakat Honduras dan
menghasilkan sebuah konfrontasi yang mengakibatkan tersingkirnya dia”.
(‘We also recognize that President Zelaya's insistence on undertaking
provocative actions contributed to the polarization of Honduran society
and led to a confrontation that unleashed the events that led to his
removal,”) Dalam surat ini jelas kalau Pemerintah AS menyalahkan
Presiden Zelaya yang mencoba meringankan beban rakyat miskin Honduras,
dan tindakan ini dilihat sebagai “provokatif”. Surat tersebut juga
menyatakan secara eksplisit bahwa Pemerintah AS tidak akan mendukung
Zelaya: “Kebijakan dan strategi kita tidaklah berdasarkan mendukung
posisi atau individu tertentu.” (“Our policy and strategy for engagement
is not based on supporting any particular politician or individual.”)
Ini menunjukkan adanya perpecahan di dalam pemerintah AS dalam
menanggapi masalah Honduras. Di satu pihak adalah kubu seperti Obama
yang terpaksa mendukung Zelaya, walaupun hanya secara diplomatis, karena
jelas dia disingkirkan secara tidak demokratis. Obama naik ke panggung
politik dengan mengkritik kebijakan luar negeri AS di bawah George W.
Bush dan di bawah presiden-presiden lalu yang terlibat dalam banyak
intervensi dan usaha kudeta di seluruh dunia. Obama sendiri telah
mengakui keterlibatan AS di dalam kudeta 1953 di Iran dimana Perdana
Menteri Mosaddeq disingkirkan dan menyesali intervensi-intervensi AS di
Amerika Latin. Oleh karena itu, dia harus tetap memegang prinsip ini
untuk menjaga dukungannya, walaupun ini harus dilakukannya dengan
hati-hati karena secara prinsipal kebijakan-kebijakan Zelaya
bertentangan dengan kepentingan AS. Inilah mengapa dukungan Obama
terhadap Zelaya hanya sebatas retorika tanpa aksi sama sekali. Di pihak
yang lain adalah politisi-politisi garis keras di Amerika, terutama dari
kubu Republikan, yang secara terbuka menyambut kudeta di Honduras
dengan gembira. Anggota Senat Republikan Jim Demint mengatakan:
“…Presiden Obama harus mengakhiri dukungannya untuk Zelaya yang
melanggar hukum dan berusaha menjadi seorang diktatur ala-Chavez.” (“…
what is necessary is for President Obama to end his support for Zelaya
who broke the law and sought to become a Chavez-style dictator”)
Jadi jelas kalau pernyataan dukungan Obama dan pemerintahan AS
semenjak kudeta Honduras itu adalah seperti tong kosong yang nyaring
bunyinya. Pada akhirnya, tidak ada dukungan yang riil sama sekali untuk
mengembalikan Presiden Zelaya.
Honduras Sekarang
Setelah kembali ke Honduras secara diam-diam, Zelaya telah berdiam di
Kedutaan Besar Brazil selama lebih dari 2 bulan, dan lokasi ini telah
menjadi pusat perlawanan terhadap rejim kudeta Honduras. Rejim
Micheletti telah melakukan represi-represi terhadap pendukung Zelaya dan
korban telah berjatuhan. Zelaya masih belum dikembalikan ke posisi dia.
Kongres Honduras, yang didominasi oleh perwakilan dari kelas penguasa,
telah menolak secara mentah-mentah dikembalikannya Presiden Zelaya.
Rejim kudeta ini berhasil memperdayai Zelaya untuk bernegosiasi guna
mengulur-ulur waktu dan meredamkan gejolak rakyat dengan represi.
Pada tanggal 29 November, pemilu dilaksanakan oleh rejim ini. Akan
tetapi rakyat menolak untuk berpartisipasi di dalam pemilu yang tidak
sah ini. Abstensi mencapai 65% - 75% menurut laporan dari Front
Perlawanan Nasional Melawan Kudeta. Pemilu yang tidak sah ini
“dimenangkan” oleh Pepe Lobo dari Partai Nasional. Media-media besar
melaporkan bahwa 60% rakyat mengikuti pemilu, yang jelas-jelas adalah
sebuah kebohongan guna memberikan legitimasi kepada rejim kudeta ini.
Ini dilakukan untuk memberikan alasan kepada Amerika Serikat untuk
mengakui hasil pemilu ini dan mengubur perlawanan rakyat Honduras.
Banyak pelajaran yang bisa ditarik dari peristiwan ini. Pertama,
bahwa pada analisa terakhir parlemen borjuis tidak dapat digunakan oleh
rakyat untuk melawan kaum borjuis. Negosiasi-negosiasi yang ditawarkan
oleh kaum borjuis melalui Kongres telah menunjukkan hal tersebut. Mereka
hanya ingin mengulur-ulur waktu. Pada momen-momen kritis seperti di
Honduras hanya perlawanan di jalan-jalan oleh rakyatlah yang dapat
mematahkan kudeta, dan rakyat Honduras telah menunjukkan keberanian
mereka. Kedua, dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang bisa menawarkan ide
dan strategi yang tepat untuk melawan kaum oligarki. Kepemimpinan
perlawanan yang tidak tertempa dalam ide dan strategi di momen-momen
kritis jatuh ke dalam perangkap demokrasi borjuis. Ini adalah kesalahan
yang fatal.
Tingkat abstensi yang besar dalam pemilu presiden ini telah
meletakkan sebuah basis untuk perlawanan selanjutnya. Hanya gerakan
melawan kapitalisme dan menuju sosialisme yang bisa mematahkan kaum
oligarki, dan kaum buruh dengan aliansi dengan kaum tani adalah
satu-satunya kelas yang mampu membawa Honduras keluar dari kediktaturan
sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar